Senin, 18 Desember 2023

Analisis Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam

 

https://www.goodreads.com

1. Sinopsis “Para Priyayi” karya Umar Kayam

    Wanagalih adalah sebuah ibu kota kabupaten yang hadir sejak pertengahan abad ke-19. Kota kecil yang gersang dan sangat panas. Di tengah-tengah Wanagalih ada sebuah jalan, Jalan Setenan namanya. Di situlah asal-usul kisah para priyayi-priyayi dimulai. Kisah ini dimulai dari sebuah keluarga priyayi yang bernama Sastrodarsono. Sastrodarsono yang nama aslinya adalah Soedarsono merupakan anak tunggal dari Atmokasan, dan embahnya bernama Martodikromo, serta pakdenya bernama Kusuma. Bapaknya adalah seorang petani desa Kedungsimo. Keluarganya merupakan keluarga petani, tidak ada di antara mereka yang berhasil menjadi priyayi, namun embahnya selalu berpesan agar anak-anaknya tidak puas hanya menjadi petani saja, ia sangat berharap agar anak-anaknya bisa menjadi priyayi, namun kenyataanya tidak ada satupun anaknya yang berhasil menamatkan sekolah termasuk bapak Soedarsono. Soedarsono adalah seorang anak petani Kedungsimo yang berhasil menjadi seorang guru bantu di Ploso berkat bantuan dan dorongan untuk sekolah dari Asisten Wedana Ndoro Seten. Dialah orang pertama dalam keluarganya yang berhasil calon priyayi, karena jika dia rajin dan setia kepada gupermen, maka dia akan diangkat menjadi guru penuh sekolah desa. Hal ini sangat membahagiakan orang tuanya. Orang tuanya pun segera memilihkan calon jodoh yang tepat untuk anaknya yang sudah menjadi priyayi kecil itu. Siti Aisah atau biasa dipanggil Dik Ngaisah nama perempuan yang dijodohkan oleh orang tuanya itu. Setelah beranjak tua nama Soedarsono diubah menjadi Sastrodarsono. Mereka memiliki tiga orang anak, yang pertama bernama Noegroho, yang kedua Hadjojo dan yang bungsu Soemini. Anak-anak mereka disekolahkan di HIS Wanagalih dan yang laki-laki melanjutkan di Kweekschool, sekolah guru di Yogya. Sedangkan Soemini setelah tamat HIS akan dinikahkan dengan seorang mantri polisi di Kawedanan Karangelo yang akan naik pangkat menjadi Asisten Wedana muda bernama Raden Harjono, saudara jauh dari pihak Dik Ngaisah. Tetapi, sebelum menikah Soemini mempunyai keinginan untuk sekolah lagi di Van Devente, di Solo. Ketika tamat di sekolah Van Deventer itu, barulah Soemini menikah dengan Harjono. Karena hidup berkecukupan, Sastrodarsono merasa wajib membantu sanak saudaranya yang tidak mampu, dibawalah tiga keponakannya (Sri, Soedarmin, dan Soenandar) untuk ikut tinggal dan disekolahkan di Wanagalih. Salah satu keponakannya Soenandar memiliki perangai yang berbeda dari yang lain, jail, nakal, dan selalu gagal dalam belajar. Suatu ketika Sastrodarsono mengutus Soenandar untuk mengurus sekolah yang didirikannya di Wanalawas, diharapkan agar Soenandar lebih mandiri dan dapat bertanggung jawab. Tapi Soenandar justru menghamili anak penjual tempe dan kabur.Lahirlah Wage yang kemudian diboyong ke Wanagalih, dirawat, dan disekolahkan, kemudian diganti namanya menjadi Lantip. Di kota itu Lantip sering teringat akan Mbah guru Sastrodarsono yang selalu memberikan nasihat pada seisi rumah setiap kali ia pulang dari pertemuan pagi. Lantip, nama aslinya adalah Wage karena lahir pada hari Sabtu Wage. Nama Lantip itu adalah sebuah nama pemberian dari keluarga Sastrodarsono saat Lantip tinggal di keluarga itu, yaitu di jalan Satenan di kota Wanagalih. Sebelumnya Lantip tinggal bersama Emboknya Desa Wanalawas yang hanya beberapa kilometer dari kota Wanagalih. Hubungan Embok Lantip dengan keluarga Sastrodarsono itu dimulai dari penjualan tempe. Rupanya tempe buatan Embok Lantip itu berkenan di hati keluarga Sastrodarsono. Buktinya kemudian tempe Embok itu jadi langganan keluarga tersebut. Soenandar yang jatuh cinta pada Ngadiyem ternyata adalah ayah Lantip, tetapi ia tidak mau mengakui kahamilan Ngadiyem Emboknya Lantip, bahkan ia minggat meninggalkan rumah Sastrodarsono yang akhirnya dapat diketahui dari laporan mantri polisi, Soenandar bergabung dengan gerombolan perampok yang dipimpin oleh Samin Genjik yang markasnya telah dibakar termasuk Seonandar yang dititipkan keluarganya kepada Sastrodarsono untuk menjadi priyayi juga hangus terbakar. Pada saat Jepang mulai masuk ke Indonesia, Lantip dikagetkan dengan sebuah teriakan dari Pak Dukuh, ia membawa kabar bahwa emaknya Ngadiyem meninggal dunia akibat keracunan jamur, ia pun merasa sedih dan terpukul mendengar kabar itu. Pada malam hari setelah emaknya dikubur, ia mulai membuka perbincangan dengan Pak Dukuh untuk menanyakan perihal siapakah bapaknya. Kemudian Pak Dukuh menceritakannya sesuai dengan kenyataan. Sesudah selamatan hari ketiga, Lantip dijemput kang Trimo untuk kembali ke Wanagalih. Selang beberapa hari, Jepang sudah mulai berkuasa, peraturannya semakin ketat dan keras, semua masyarakat harus bisa bahasa Jepang, sebelum proses pembelajaran dimulai semua guru dan siswa diwajibkan untuk ikut menyembah Tuhan mereka, yaitu matahari. Namun, karena merasa sudah pensiun dan tua, Sastrodarsono tidak mengikuti perintah itu, punggungnya sudah tidak bisa lagi digerakkan menunduk. Kabar bahwa Sastrodarsono tak mau menunduk itu pun akhirnya sampai ke telinga Tuan Sato, ia mendatangi rumah Sastrodarsono dan memaki-makinya, alhasil Sastrodarsono pun mendapatkan hadiah tempeleng dari si tuan Nippon. Kejadian itu membuatnya murung beberapa hari, sampai akhirnya anak dan cucu hadir ke rumah untuk menghibur Sastrodarsono. Hardjojo melihat Lantip dan Gus Hari makin lama makin akrab, apalagi ketika mereka berkunjung ke Wanagalih, akhirnya ia memutuskan untuk mengangkat Lantip sebagai anak asuh. Setelah pulang dari menghibur bapaknya, Noegroho kembali menjalani aktivitasnya menjadi seorang guru. Pada suatu hari tiba-tiba datang surat panggilan untuk menjadi tentara PETA (Pembela Tanah Air). Akhirnya ia pun menyanggupi panggilan itu dan harus berlatih di Bogor. Sesudah ia selesai menjalani latihan di Bogor, ia akhirnya pulang dan mengajak anak, istri, serta adik-adiknya untuk berkumpul di Wanagalih menjenguk orang tuanya. Mereka ingin sekali mendengar cerita dari Noegroho bagaimana proses pelatihan menjadi tentara PETA. Pada waktu itu, Indonesia bisa dikatakan sedang genting keadaan dan situasinya, muncullah pergerakan PKI yang bertindak dengan tak berperikemanusiaan. Ketika Lantip masih berada di Jakarta bersama keluarga Noegroho, ia mendapat kabar bahwa eyang putri (Ngaisah, istri Sastrodarsono) meninggal dunia, mereka pun langsung bergegas menuju Wanagalih. Ngaisah meninggal karena penyakit liver, ia tampak lebih muda dan meninggal dengan sebuah senyum di bibir manisnya. Sastrodarsono merasa sangat sedih, ia harus kehilangan seorang wanita yang sangat dicintainya, seorang wanita yang sudah menemaninya selama kurang lebih lima puluhan tahun, seorang wanita yang selalu menjadi sayap untuknya yaitu dik Ngaisah istri tercintanya. Ngaisah meninggal pada saat berusia kurang lebih tujuh puluh tahun. Sepeninggalannya eyang putri, kesehatan eyang kakung semakin memburuk. Suatu hari, pohon nangka kesukaan Sastrodarsono akhirnya tumbang, ia memerintahkan keluarganya untuk membagi-bagikan apa yang ada pada pohon itu, baik daun maupun buah dan batangnya. Pohon nangka itu merupakan bukti sejarah hidupnya, dimana semua lika-liku perjalanan hidup ketika di Wanagalih terekam oleh si pohon nangka. Peristiwa tumbangnya pohon nangka itu dilanjutkan meninggalnya Sastrodarsono. Semua keluarga sangat sedih dan terpukul. Ketika pemakaman, diharuskan pihak keluarga menyampaikan pidatonya, Noegroho yang ditunjuk mewakili keluarga agar berpidato menyampaikan pesan dan kesan terhadap bapaknya itu pun menolak, ia ingin agar generasi mudalah yang menyampaikan pidato itu, dan ia menunjuk Harimurti, Harimurti yang merasa tidak pantas menyampaikan pidato akhirnya menolak dengan halus dan mengusulkan agar Lantip yang menyampaikan pidato itu. Ia menganggap bahwa Lantip adalah orang yang pantas berpidato, selama ini dialah orang yang selalu membantu keluarga besar Sastrodarsono hingga Sastrodarsono meninggal.


2. Analisis “Para Priyayi” karya Umar Kayam

a. Tema

Tema pada novel Para Priyayi karya Umar Kayam adalah priyayi yang sesungguhnya adalah orang yang tidak hanya mengutamakan kedudukan atau jabatan melainkan orang yang juga memikirkan kehidupan rakyat kecil.

b. Tokoh

 Wage dan Lantip berwatak yang baik, cerdas, penurut, suka menolong, rajin, dan berbakti kepada kedua orang tu.

 Embah kakung/ Sastrodarsono berwatak setia, berwibawa, baik, rajin, dan suka menasehati.

 Siti Aisyah berwatak murah senyum, setia, pekerja keras, baik hati, sabar

 Noegroho berwatak peduli, baik dan berwibawa

 Hardojo berwatak telaten, pantang menyerah, cerdas, dan sabar.

 Soemini berwatak rajin, keras kepala.

 Susanti berwatak pemikir, mudah khawatir

 Harjono Cokro Kusuma berwatak mudah terpengaruhi, tidak setia tetapi tanggung jawab

 Mbok Ngadiyem berwatak murah hati,sabar, telaten

 Mbok Soemo berwatak pendiam dan mudah putus asa

 Soenandar berwatak bertanggung jawab, jail

 Ngadiman berwatak penakut, pemalu, bertanggung jawab

 Sri dan Damin berwatak baik hati

 Suhartono berwatak pemberani, rajin

 Sri Sumaryati berwatak sombong, keras kepala

 Sutomo berwatak pilih kasih

 Sumarti berwatak baik hati, sopan

 Harimurti berwatak baik dan mudah terpengaruh

 Gadis berwatak rajin, cerdas, emosional

 Halimah berwatak baik dan peduli

 Maridjan berwatak kurang sopan

 Ndoro seten berwatak baik hati dan peduli

 Maria berwatak penurut, lapang dada

 Soeminah berwatak humoris, baik hati dan peduli

 Atmokasan berwatak baik hati dan berwibawa

 Franciscus berwatak sinis dan tidak sopan

 Kentus berwatak pantang menyerah, rajin

 Kang Man, Kang Trimo, Mbok Nem, dan Lik Paerah berwatak penurut, sopan, dan telaten

 Martoadmojo berwatak baik hati, tabah

 Mortokebo berwatak jahat dan tidak sopan

 Haji Mansur berwatak agamis, baik hati

 Dokter Soedrajat berwatak baik dan peduli

 Pak Dukuh berwatak baik hati dan peduli

 Mukarom berwatak baik dan penyayang

 Tuan Sato berwatak jahat dan egois

 Pak Naryo berwatak baik hati, jujur

 Suminten berwatak sabar

 Kyai Jagosimo berwatak sangat sakti

 Eyang Kusumo Laku Broto berwatak sakti dan ampuh

 Semin Genjik berwatak jahat dan tidak berperikemanusiaan

 Keluarga Sumarti dan Nunuk berwatak baik dan penyayang

 Ketua Gepermen berwatak jahat

 Mener Soedirjo berwatak ,urah hati

c. Alur

Alur pada novel Para Priyayi adalah alur campuran karena peristiwa yang terjadi tidak diceritakan secara runtut mulai dari awal hingga akhir.

d. Latar

Latar pada novel para Priyayi karya Umar Kayam. Latar Tempat adalah di Madiun (Wanagalih, Pasar Wanagalih, Pendapa Kabupaten, Jalan Setenen atau rumah Sastrodarsono, Wanalawas, Karangelo, Karang Dompol, Jogorogo, Kedung Simo, Stasiun Paliyan, Taman Sriwedari), Solo, Yogyakarta (Wonosari Gunung Kidul, Lapangan Maguwo, Jebukan Bantul), Jakarta, serta Plantungan, Semarang. Latar Waktu pagi,siang,sore dan malam. Latar Suasana serius, menyedihkan, menegangkan, mengecewakan, dan mengkhawatirkan.

e. Amanat

Amanat yang dapat diambil dari novel tersebut yaitu ketika kita telah menjadi seorang yang sukses jangan pernah melupakan orang-orang yang telah membantu kita meraih kesuksesan itu, selalu menghargai orang lain, tidak sombong atas kedudukannya, berbakti kepada kedua orang tua, berpikir sebelum melakukan sesuatu.


1 komentar:

Analisis Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam

  https://www.goodreads.com 1. Sinopsis “Para Priyayi” karya Umar Kayam      Wanagalih adalah sebuah ibu kota kabupaten yang hadir sejak per...